Ketika ada perbincangan intim dengan para sahabat, saya sering menceritakan ketakutan-ketakutan saya. Tentang masa depan yang belum saya lalui namun sudah saya rasakan aroma kengeriannya. (Bah, pesimis kali kau, gadis!) Ketakutan yang tidak hanya mengenai diri sendiri tapi juga mengenai orang lain di sekitar saya.Beberapa kali saya utarakan pada para sahabat kalau ada ketakutan ketika masa pensiun datang kepada ayah dan ibu saya. Ketakutan tentang bagaimana kesehatan mental ayah dan ibu saat terjadi peralihan masa padat aktifitas dan berkurangnya aktifitas primer di hidup mereka. Meninggalkan habitus lama, di umur yang senja.
Sekarang saat itu datang. Ayah saya sudah tidak bekerja lagi. Namun sesuai klasifikasi sensus penduduk, usianya jelas masih produktif. Masih di bawah usia 65 tahun. Perusahaan media sisa sisa orba, tempat mengabdi selama dua puluh tahun lebih akhirnya tumbang. Dua mata pisau. Satu sisi saya tidak suka yang berbau orba, tapi di sisi lain, perusahaan macam itu pula yang menghidupi setidaknya masa kecil saya.Ibu saya masih bekerja. Setidaknya sampai tahun depan. Syukur syukur kalau masih boleh lanjut. Tapi saya tahu sekarang ibu saya selalu gelisah kalau ingat tahun masa baktinya hanya tinggal menghitung jari.
Pada fase ini, ayah saya tidak memiliki kegiatan produktif. Sepengetahuan saya. Seiring canggihnya teknologi, kegiatannya adalah memegang ponsel dan berselancar di dalamnya. Saya sebal sekaligus kasihan. Saya sebal karena aktifitasnya mengerucut menjadi hanya seputar bangun-makan-hp-mandi-tidur(-merokok >:( saya sebal sekali dengan yang ini) inipun dilakukan dengan jam yang terbalik dari orang kebiasaan. Namun saya juga kasihan karena tahu ayah pun bingung dengan apa yang harus dilakukan mengingat usia mendekati tidak produktif dan modal yang tidak banyak. Kadang saya sangat ignorant dengan berpikir dalam hati kalau sekarang ayah tidak ada kegiatan, berarti itu adalah pilihan ayah sendiri. Sebagai anak, bukankah saya seharusnya lebih sabar dan penuh welas asih?Semakin kesini saya jadi sadar. Jangan jangan premis ketakutan saya selama ini kurang tepat. Saya bukan takut dengan bagaimana kondisi kesehatan mental orang tua pasca pensiun. Ternyata ketakutan itu ada pada diri saya sendiri yang tidak siap dengan kondisi orang tua yang tak lagi produktif. Dalam hal ini, orang tua yang tidak lagi earning money. Bukan berarti saya masih bragging minta uang. Tapi untuk kelanjutan kehidupn ayah ibu sendiri. Untuk jalan jalannya mereka. Untuk makan enak enaknya mereka. Sebagai anak, anekdotnya jelas sekali. Gantian dong anak yang membiayai orang tua! Kalau melihat tradisi timur, tentu sekarang giliran anak yang menafkahi orang tua. Lagipula saya punya kakak dan adik untuk bersama sama membahagiakan orang tua (cita cita yang sunggu common) . Tapi mungkin masalah ketakutan ini memang ada di saya yang malah sewot dengan ayah yang tidak bekerja lagi (while secretly wish he had some planning on himself).
Konklusi
Sebagai manusia dengan quarter-life crisis yang mikirnya gimana caranya cuan cuan cuan, saya berencana untuk mengajak ayah dan ibu untuk mengikuti beberap workshop. Yang akhirnya membuat ayah dan ibu bisa berkarya. Bukan maksud eksploitasi orang tua, tapi menjaga perasaan agar ayah dan ibu tetap merasa berjaya, berkarya, dan alive.
Apakah ini lagi-lagi bagian dari ego saya semata?
Sekarang saat itu datang. Ayah saya sudah tidak bekerja lagi. Namun sesuai klasifikasi sensus penduduk, usianya jelas masih produktif. Masih di bawah usia 65 tahun. Perusahaan media sisa sisa orba, tempat mengabdi selama dua puluh tahun lebih akhirnya tumbang. Dua mata pisau. Satu sisi saya tidak suka yang berbau orba, tapi di sisi lain, perusahaan macam itu pula yang menghidupi setidaknya masa kecil saya.Ibu saya masih bekerja. Setidaknya sampai tahun depan. Syukur syukur kalau masih boleh lanjut. Tapi saya tahu sekarang ibu saya selalu gelisah kalau ingat tahun masa baktinya hanya tinggal menghitung jari.
Pada fase ini, ayah saya tidak memiliki kegiatan produktif. Sepengetahuan saya. Seiring canggihnya teknologi, kegiatannya adalah memegang ponsel dan berselancar di dalamnya. Saya sebal sekaligus kasihan. Saya sebal karena aktifitasnya mengerucut menjadi hanya seputar bangun-makan-hp-mandi-tidur(-merokok >:( saya sebal sekali dengan yang ini) inipun dilakukan dengan jam yang terbalik dari orang kebiasaan. Namun saya juga kasihan karena tahu ayah pun bingung dengan apa yang harus dilakukan mengingat usia mendekati tidak produktif dan modal yang tidak banyak. Kadang saya sangat ignorant dengan berpikir dalam hati kalau sekarang ayah tidak ada kegiatan, berarti itu adalah pilihan ayah sendiri. Sebagai anak, bukankah saya seharusnya lebih sabar dan penuh welas asih?Semakin kesini saya jadi sadar. Jangan jangan premis ketakutan saya selama ini kurang tepat. Saya bukan takut dengan bagaimana kondisi kesehatan mental orang tua pasca pensiun. Ternyata ketakutan itu ada pada diri saya sendiri yang tidak siap dengan kondisi orang tua yang tak lagi produktif. Dalam hal ini, orang tua yang tidak lagi earning money. Bukan berarti saya masih bragging minta uang. Tapi untuk kelanjutan kehidupn ayah ibu sendiri. Untuk jalan jalannya mereka. Untuk makan enak enaknya mereka. Sebagai anak, anekdotnya jelas sekali. Gantian dong anak yang membiayai orang tua! Kalau melihat tradisi timur, tentu sekarang giliran anak yang menafkahi orang tua. Lagipula saya punya kakak dan adik untuk bersama sama membahagiakan orang tua (cita cita yang sunggu common) . Tapi mungkin masalah ketakutan ini memang ada di saya yang malah sewot dengan ayah yang tidak bekerja lagi (while secretly wish he had some planning on himself).
Konklusi
Sebagai manusia dengan quarter-life crisis yang mikirnya gimana caranya cuan cuan cuan, saya berencana untuk mengajak ayah dan ibu untuk mengikuti beberap workshop. Yang akhirnya membuat ayah dan ibu bisa berkarya. Bukan maksud eksploitasi orang tua, tapi menjaga perasaan agar ayah dan ibu tetap merasa berjaya, berkarya, dan alive.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar