Minggu, 07 Desember 2025

Telanjang


Semuanya dimulai waktu aku kelas 5 SD. Aku menonton Simple Life, reality show yang menampilkan Paris Hilton dan Nicole Richie bekerja di nudist club. Dari situ saya berandai-andai  bagaimana rasanya benar-benar telanjang di depan orang banyak. Rasa angin yang berhembus di setiap inci kulitmu juga rasa kikuk saat bagian pribadimu tidak lagi terasa eksklusif.

Kemudian aku belajar arsitektur. Mataku dengan mudahnya terpusat pada detail dan ruang. Kamar mandi bukan lagi sebuah ruang basah di kepalaku. Ia bisa menjadi ruang untuk mengeksplorasi isi pikiran atau bahkan tubuhmu. Area air dengan banyak jenisnya; toilet, lavatory, kamar mandi, en suite, dll. Beberapa didesain ukuran kecil bagai memenuhi daftar keharusan, sebagian didesain sangat luas seperti ruang bermain dengan beberapa zonanya. Mulai dari kamar mandi tanpa langit-langit, dinding kaca, bahkan tanpa pembatas apapun.

Apakah sebenarnya ada kerinduan untuk manusia kembali bertelanjang seperti waktu debut awal di dunia ini? Rasa penasaran itu timbul tenggelam. Bagaimana rasanya bertelanjang di tempat umum?

--

Kemudian aku berkesempatan pergi ke Osaka, Jepang. "Onsen!" ajakku pada teman seperjalananku, Z yang berpikiran sama. Pengalaman pertama yang harus dicoba. Di sela-sela agenda yang padat, kami mencoba pergi ke sebuah onsen di Pelabuhan Uno. Sayangnya kami terlambat sepuluh menit menuju waktu tutup sehingga rencana gagal. Tak kenal menyerah, kami agendakan lagi pergi ke onsen saat di Osaka. Waktu itu sudah jam 10 malam. Kami mencari bermodalkan pencarian google. Kami menemukan beberapa yang terdekat. Ada satu yang kami kunjungi namun ternyata khusus pria. Terbuka untuk wanita hanya di hari Rabu, sayangnya itu hari Jumat. Kemudian kami mencari lagi meski jauh dengan jarak satu stasiun kereta bawah tanah. Yang mana saat itu kami menaiki kereta terakhir menuju lokasi sento. Sento, karena bukan onsen yang airnya dari mata air langsung yang tapi berupa pemandian umum.

Akhirnya kami sampai di Sento Tateba (ヘルシー温泉タテバ). Kami disambut loker alas kaki dan sebuah vending machineTiket masuk, sewa handuk, dan tiket sauna semuanya seharga ¥1100.

Sambutan ヘルシー温泉タテバ


Sesudah membeli tiket, kami naik ke atas, menukarkan tiket kepada penjaga yang ramah dengan tiga set handuk (kuning kecil untuk wajah atau kepala, oranye besar untuk alas, dan biru besar untuk badan). Setelah itu, kami langsung masuk ke area mandi khusus wanita. Lucu sekali karena saya pikir kami akan masuk ke area loker dahulu sebelum benar-benar memulai pengalaman bertelanjang. Ternyata saat masuk, saya langsung melihat wanita tanpa busana di depan loker. Badan saya langsung refleks kembali ke arah pintu karena kaget. Saya dan Z tertawa karena pengalaman baru ini membuat kaget. Tentu kegiatan ini harus tetap berlanjut. saya masuk dengan berusaha tenang dan menjaga pandangan mata. Konon, memandang badan orang lain saat di pemandian umum adalah hal tabu (ya iyalah!). 


Janji-janji persiapan


Saya dan Z mulai menanggalkan baju kami. Agak canggung tapi kami sambil menahan tawa satu sama lain membuat perjanjian. 

"Jangan judge stretch mark aku ya, kak" kata Z.

"Jangan judge jerawat punggung aku juga ya hahaha" balasku.

Iya, aku insecure dengan jerawat punggungku. Di antara foto-foto baju backless dan punggung mulus, tentu aku kepikiran dengan bagian belakangku yang susah diraih ini.

Bersih di awal

Setelah yakin menanggalkan semua baju, kami mulai masuk dan mencari tempat kosong untuk mandi. Mandi sambil duduk menghadap kaca. Diam-diam aku memperhatikan sekitar. Semua tampak fokus pada dirinya sendiri. Tentu aku berharap semua fokus pada diri sendiri termasuk diriku. Semenit... dua menit... lima menit... sepuluh menit... rasa badan tanpa seutas benang ini rasanya mulai biasa saja. Ketika berdiri untuk mulai berendam, rasa canggung masih ada tapi... semua orang berlaku seperti tidak ada yang aneh. Tak beda layaknya saat berpakaian lengkap.

Celap-celup


Kami mulai berpetualang dari kolam ke kolam. Dari berendam di kolam hangat dan nyaman, kolam dingin yang membuat kulitku seperti ditusuk ribuan jarum, dan dilanjut perasaan seperti menguap di sauna. Rasanya.... nyaman. Aku rasa kalau dibiarkan, aku mau dua hari sekali ke sauna di tengah deadline yang menghantui. Rasa rileks ingin segera sampai di atas kasur dan terlelap.

Yang mandi lainnya

Sudah hampir pukul 12 malam. Lucunya, bukan semakin sepi, sento semakin ramai. Rasanya memang mandi di sento agar badan benar-benar bersih dan tidur nyenyak. Tidak hanya para gadis yang tampak seru tertawa (duh! rasanya mau ikut bergabung di keseruannya. Ingin tahu kalau gadis-gadis Jepang biasanya ngobrolin apa hahaha), juga ada juga sepasang ibu anak yang berbahasa korea. Saya jadi terpikir, kapan terakhir kali saya mandi bersama ibu? Rasanya terakhir SMA, atau kuliah? Pernah juga bersama kakak perempuan dan sepupu saya. Biasanya, sering terjadi kalau sedang terburu-buru dan posisi kamar mandi terbatas. Mandi bersama walau bukan dengan orang dikenal bukan hal tabu untuk saya. Tapi saya juga tidak punya memori bersama ayah. Mungkin aneh? Tapi saya teringat film My Neighbor Totoro (となりのトトロ), dimana suatu malam Satsuki dan Mei berendam di bak kayu khas Jepang bersama ayah mereka. Karena ini film anak, adegan itu rasanya sungguh kasual. Just another ordinary thing. Apakah realita di sana memang seperti itu? Tapi kalau tidak, pasti adegan itu tidak ada juga atau minimal memicu protes penonton. Yang jelas, saya rasa perbedaan kemaluan jadi hal biasa bagi anak-anak. Begitupun di buku Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela (窓ぎわのトットちゃん), di bagian mata pelajaran renang di Tomoe Gakuen. Semua anak wajib untuk tidak menggunakan pakaian apapun termasuk pakaian renang. Bagi yang tidak berkenan, dipersilakan untuk tidak ikut kelas renang. Membacanya, muncul sedikit rasa kaget tapi juga senyum. Di masa-masa yang polos, perbedaan itu akan menjadi pelajaran. Untuk melihat hal yang berbeda menjadi biasa saja. Tapi ah, lagi-lagi latar cerita-cerita itu bahkan pada saat PD II. Kekhawatirannya pasti berbeda dengan sekarang di era digital yang liar. Kadang, saya rindu dengan kepolosan dan kelambatan pada masanya. Ketika terasa lebih plain dan genuine.

Liberte!


Kami selesai pukul 1 malam dan kembali ke penginapan. Saat jalan pulang, kami mampir sebentar di sebuah taman dan main ayunan. Waktu itu rasanya manis, tenang, dan nyaman sekali.

--

Pada akhirnya, saya sudah tidak (terlalu) penasaran lagi. Saya merasa ada sesuatu kebebasan yang menggelitik ketika harus bertelanjang di depan orang lain. Eksplorasi perasaan memiliki pada tubuh sendiri. Satu hal yang pasti, akan saya ulang pengalaman ini di setting yang lebih terbuka dan cultured, onsen!



またね!

Sabtu, 29 November 2025

I want to treat heartbreak just like when the butterflies held a dancing party on my stomach. Funny feelings that I celebrate. When I can turn love to something, why not heartbreak? In a way, this feels like a commodity. A belief that I have to produce no matter how I feel. But, what if I rephrase this into 'a process of me to let the feelings go'? Because feelings flow. And it needs outlet. To express, they say. Still it feels like commodified?



Why?

Rabu, 26 November 2025

Yang Aku Rekam

Tahun 2023 aku melewatkan aktivitas mengoleksi memori. Padahal banyak yang terjadi. Yang sebenarnya paling mantap, tentu karena akhirnya aku solo travelling lagi dan lebih-lebih ke tempat yang jauh untuk ikut lokakarya seni. Travel dan seni, sebuah kombo favorit dalam hidupku. Waktu itu spesial sekali. Belum lagi bonus-bonus pergi jauh selanjutnya dari YME. Dari awalnya ke Austria dan Slovakia, lanjut ke Hongkong, Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan tentu surprise terakhir ke Jepang. Aku terbahak, oh ini rasanya jadi manusia bougee hahaha!

Dokumentasi 2025 cukup banyak. Kali ini aku mencoba peruntungan lagi. Hari Jumat lalu dan baru saja tadi sore, ternyata aku dapat penolakan. Penolakan hari Jumat tidak sesedih hari ini. Mungkin karena baru satu kegagalan dari tiga percobaan. Sekarang sisa satu lagi, rasa sedihnya bercampur ketegangan. Aku rakus. Aku berdoa malam minta tiga-tiganya masuk. Biar satu tahun back to back isinya residensi. Ingat dulu tanteku menggumam waktu dengar rencanaku daftar residensi. "Belajar terus kapan kerjanya?" Tapi dipikir-pikir, I chose to adapt. Adapt by learning. Dan aku suka.

Mimpinya sekarang, aku mau tinggal di luar Indonesia. Tentu di negara yang maju karena lotre kehidupanku dapatnya lahir di negara berkembang ini. Jadi daripada kunjungan sementara seminggu dua minggu seperti sebelumnya, aku ingin yang lebih lama. Cukup lama sampai aku memilih dengan mantap untuk menaruh jangkar. Artist visa, doaku sekarang.

-

Aku sekarang di kamar di Bandung. Sendiri. Waktu kecil tentu aku tidak terpikir akan tinggal sendirian cukup lama. Tiga tahun. Tidak ada sanak saudara terdekat yang jaraknya bisa ditempuh setidaknya setengah jam perjalanan. Jadi kalau aku sakit, aku mengeluh lewat telepon saja. Biar kata-kata dari yang terkasih setidaknya meringankan sedikit rasa lemas.

Perasaan sendirian mulai sering hinggap. Apalagi teman-teman mulai mengepakkan sayapnya. Meninggalkan dahan mulai yang bergoyang ini. Aku tunggu apa? Ada momentum datang tapi kupilih angan akan momentum selanjutnya. Modal percaya, kataku. Apakah perasaan akrab dengan kesendirian dan kesepian bisa menjadi modal bertahan di fase selanjutnya? Semoga!

Minggu, 16 November 2025

Akal-akalan Anak Kedua

Tadi malam adikku yang spesial itu menelepon. Jarang-jarang. Karena aku sendiri suka takut menerima telepon dari si bungsu itu karena seringnya berisi keluh kesah yang bikin aku kepikiran sampai seminggu. Memang spesial dia. Spesial bikin aku suka mendadak gelisah.

Dia cerita banyak hal. Untungnya bukan marah-marah. Life update. Walau hidup tidak selalu mulus, seringnya bikin terkocok-kocok, lebih menyenangkan ketika emosinya diparkir dulu kemudian cerita objektif yang terjadi saja kadang cukup walau tanpa bumbu. Setidaknya tidak bikin aku mual. Lagi-lagi, si kakak ini kepikiran, sayangku.

Bahasa kami tidak selalu sama. Ada masa-masa aku bingung menanggapi apa yang dimuntahkan dia dari kepalanya. Atau hatinya. Alur pikir kami sering tak sejalan. Aku dan kakakku lebih sering satu suara. Pisces dan Aquarius yang tumbuh di fase yang kurang lebih sama. Yang terakhir ini memang Aries, natur meledak dan lagi fase kehidupan kami mulai berubah di saat usianya krusial. Aku sering berpikir, apakah ini ego khas lelaki bungsu?

Kali ini bahasa kami seperti terkalibrasi. Ternyata, dia sedang belajar. Benar belajar karena dia sedang ikut kelas. Hal yang aku tunggu-tunggu dari lama. Karena aku suka belajar hal baru, tapi kenapa dia tidak? Aku senang dengan aroma rasa percaya dirinya yang bangkit. Dia juga cerita tentang masa sedihnya yang bikin aku mengikik. Mengikik karena been there done that, putus hihihi. Dia cerita, pulang tengah malam sehabis putus dan mengadu ke temannya, kemudian pulang disambut ayah dan ibu pukul tiga pagi. Tepukan punggung dari ibu ternyata makin membuat air matanya deras berjatuhan. Memori yang mirip terputar ulang. Aku pulang dengan kalut dari Bandung, kemudian langsung dipeluk ayah yang sudah diberikan kisi-kisi dari kakak. Sehabis puas menangis, lanjut ke McDonalds untuk asupan gula. Dan distraksi tentunya. Khas ayah sekali.

Dari semua kegilaan yang sering terjadi, ternyata tiga bocah ini sangat beruntung punya orang tua yang hadir di saat-saat kami jatuh di kesedihan. Yang mendengarkan saat kami dengan leluasa bercerita apa yang terjadi maupun saat meminta restu.

Telepon berlanjut terus. Cerita pula dia tentang rencana masa depannya. Tentang kami bertiga yang berbagi tugas memutar roda rumah. Aku senang dia punya harapan lagi. Dia bilang, dia tau akal-akalanku. Akal-akalan anak kedua yang mengalihkan perhatian berupa kehadiran menjadi pemasok kebutuhan yang selalu siap sedia dari jauh. Katanya dia juga mau. Hehe. Aku mengelak saat dia menyuruhku pulang. "Rumah penuh, ih". Jawabanku tidak menghasilkan perlawanan. Rumah memang rasanya mengecil. Terakhir kurasa rumah luas sekali saat 3 SD. Belum lagi, ada si bocah cilik rambut ikal yang sekarang menjadi pusat perhatian dengan tingkah lucunya.

-

Sekarang, aku tenang dan senang.

Minggu, 26 Oktober 2025

On Earth, As It is in Heaven.

The idea of what my future would be like is always in my mind. It's not always the grande one. I love chips and snack when I was a kid. Just like regular kid, my mom gave me a limit to taste the superficial. So I imagine myself in an older version to open a cabinet full of snacks and freely pick it up to my likings.

And... It happened. Years later I move to Jogja for college and live with my aunt who stores all the snacks in a cabinet. My favorite cabinet. She would allow me to grab any snacks I want when it was grocery day. Not the exact visual and detail but the idea stay the same. Me and the cabinet of snacks.

Then I moved to Bandung. Here I am living on my own and store any snacks I want. I store it on an open shelf just right above my study desk. I am fully responsible for the relationship of myself and the snacks.

-

Then I reflect and trying to remember what kind of ideal life I want to live. The flexible one that I don't need to stay in one place. I could travel whenever I can. I could take a public transport to move from one place to another where I can fully wandering in my own thought during the trip. I could stop by on a lush park. I could decorate my own place. I enjoyed my work. I could create and channel my energy. And the most, I have friends who can I talk to and laugh with. Also all the communities and events which nourish me.

These days, I can barely say that I am living in my dream now.

-

And now I continue my dream about the similar thing in different place where things is colder but warmer to rely on.

Rabu, 08 Oktober 2025

Jauh Tapi Dekat

I found a new urge.

I want to explore the world. I want to staying longer outside this zone. I already had the chance to see the snippets and it push me to go further.

Maybe things won't be as easy as it seems but I am curious to experience it myself. Something to pursue. 

-----


Aku sedang engap-engap baca files daftar fellowship. Tapi kan bukan berarti tidak bisa yeah.

Jumat, 12 September 2025

Variety of Something that Moved Us

I once read a blog. The writer said that loneliness is the fuel to create art. At least that is what Da Vinci did, he said. Da Vinci kept himself in loneliness. Nurturing the lonely feeling and decided to marry to no one. 

I wonder if what he posted down on the blog was the fragments of his thoughts. Is he enjoying loneliness? Does loneliness speak loudly to him? And the biggest question since he was referring to Da Vinci, does he take loneliness as a fuel to his creations?


— because it’s funny. I am a total opposite.


Remember the time when I visited Leopold Museum in Vienna. The exhibition was about Vienna Secession and the pioneers who were mostly artists-painter. I read all the descriptions and the stories of their life carefully. Their soap opera-like slice of life. It was very interesting to know. At least, four of them were having an affair with married women. Or if it wasn’t intriguing enough, the woman they were having affair with was the wife of their patron. Moreover, they didn’t do it quietly nor sneakily. They expressed their forbidden (I mean, if monogamy is still in the room back then) love by publicly made their lover as their muse for their paintings. Those paintings with different kinds of strokes. A desired brush strokes.


A desire. Lust that moved them. A combination of adrenaline and libido that rushing to turn into something beautiful. A feeling that you can’t hold but to express it. I almost made a new theory that to be a renowned artist, one should be scandalous enough to let the creative juices streams to your hands and made art. But no, thank you. Modern life is tricky enough for me already to add a scandalous story.


Well, something interesting I found is, instead of lust, I am moved by love. The feeling you feel when you are falling in love. The energy that comes when you’re attracted to someone until you make them as an object. An object you adore which grows your curiosity to digging deeper. It brings you an imagination (though i have to be careful enough until it turns to delusion) that unlock your potential. Sometimes it even uncovers the other side of you. A new brush strokes that you don’t even know that you have. It leads to an urge to channel your energy into something you can show to the world.

“Here, ladies and gentlemen, I am falling in love and the world needs to know.”


I wonder if what moved us was a contradiction. A dichotomy of one and two. To be fair, I enjoy being alone (although I broke this statement right after I got fever, alone in my room last week). I cherish every moment I explore things on my own company. Even this writing came up out of loneliness. Because I’m no longer sure if I’m still falling in love with someone. But all I know, I fall in love with myself. With the solitude that makes my brain works harder and with all the serendipity that coming along the way. So, are we somewhat have the similar force?