Minggu, 16 November 2025

Akal-akalan Anak Kedua

Tadi malam adikku yang spesial itu menelepon. Jarang-jarang. Karena aku sendiri suka takut menerima telepon dari si bungsu itu karena seringnya berisi keluh kesah yang bikin aku kepikiran sampai seminggu. Memang spesial dia. Spesial bikin aku suka mendadak gelisah.

Dia cerita banyak hal. Untungnya bukan marah-marah. Life update. Walau hidup tidak selalu mulus, seringnya bikin terkocok-kocok, lebih menyenangkan ketika emosinya diparkir dulu kemudian cerita objektif yang terjadi saja kadang cukup walau tanpa bumbu. Setidaknya tidak bikin aku mual. Lagi-lagi, si kakak ini kepikiran, sayangku.

Bahasa kami tidak selalu sama. Ada masa-masa aku bingung menanggapi apa yang dimuntahkan dia dari kepalanya. Atau hatinya. Alur pikir kami sering tak sejalan. Aku dan kakakku lebih sering satu suara. Pisces dan Aquarius yang tumbuh di fase yang kurang lebih sama. Yang terakhir ini memang Aries, natur meledak dan lagi fase kehidupan kami mulai berubah di saat usianya krusial. Aku sering berpikir, apakah ini ego khas lelaki bungsu?

Kali ini bahasa kami seperti terkalibrasi. Ternyata, dia sedang belajar. Benar belajar karena dia sedang ikut kelas. Hal yang aku tunggu-tunggu dari lama. Karena aku suka belajar hal baru, tapi kenapa dia tidak? Aku senang dengan aroma rasa percaya dirinya yang bangkit. Dia juga cerita tentang masa sedihnya yang bikin aku mengikik. Mengikik karena been there done that, putus hihihi. Dia cerita, pulang tengah malam sehabis putus dan mengadu ke temannya, kemudian pulang disambut ayah dan ibu pukul tiga pagi. Tepukan punggung dari ibu ternyata makin membuat air matanya deras berjatuhan. Memori yang mirip terputar ulang. Aku pulang dengan kalut dari Bandung, kemudian langsung dipeluk ayah yang sudah diberikan kisi-kisi dari kakak. Sehabis puas menangis, lanjut ke McDonalds untuk asupan gula. Dan distraksi tentunya. Khas ayah sekali.

Dari semua kegilaan yang sering terjadi, ternyata tiga bocah ini sangat beruntung punya orang tua yang hadir di saat-saat kami jatuh di kesedihan. Yang mendengarkan saat kami dengan leluasa bercerita apa yang terjadi maupun saat meminta restu.

Telepon berlanjut terus. Cerita pula dia tentang rencana masa depannya. Tentang kami bertiga yang berbagi tugas memutar roda rumah. Aku senang dia punya harapan lagi. Dia bilang, dia tau akal-akalanku. Akal-akalan anak kedua yang mengalihkan perhatian berupa kehadiran menjadi pemasok kebutuhan yang selalu siap sedia dari jauh. Katanya dia juga mau. Hehe. Aku mengelak saat dia menyuruhku pulang. "Rumah penuh, ih". Jawabanku tidak menghasilkan perlawanan. Rumah memang rasanya mengecil. Terakhir kurasa rumah luas sekali saat 3 SD. Belum lagi, ada si bocah cilik rambut ikal yang sekarang menjadi pusat perhatian dengan tingkah lucunya.

-

Sekarang, aku tenang dan senang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar