Sabtu, 29 November 2025

I want to treat heartbreak just like when the butterflies held a dancing party on my stomach. Funny feelings that I celebrate. When I can turn love to something, why not heartbreak? In a way, this feels like a commodity. A belief that I have to produce no matter how I feel. But, what if I rephrase this into 'a process of me to let the feelings go'? Because feelings flow. And it needs outlet. To express, they say. Still it feels like commodified?



Why?

Rabu, 26 November 2025

Yang Aku Rekam

Tahun 2023 aku melewatkan aktivitas mengoleksi memori. Padahal banyak yang terjadi. Yang sebenarnya paling mantap, tentu karena akhirnya aku solo travelling lagi dan lebih-lebih ke tempat yang jauh untuk ikut lokakarya seni. Travel dan seni, sebuah kombo favorit dalam hidupku. Waktu itu spesial sekali. Belum lagi bonus-bonus pergi jauh selanjutnya dari YME. Dari awalnya ke Austria dan Slovakia, lanjut ke Hongkong, Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan tentu surprise terakhir ke Jepang. Aku terbahak, oh ini rasanya jadi manusia bougee hahaha!

Dokumentasi 2025 cukup banyak. Kali ini aku mencoba peruntungan lagi. Hari Jumat lalu dan baru saja tadi sore, ternyata aku dapat penolakan. Penolakan hari Jumat tidak sesedih hari ini. Mungkin karena baru satu kegagalan dari tiga percobaan. Sekarang sisa satu lagi, rasa sedihnya bercampur ketegangan. Aku rakus. Aku berdoa malam minta tiga-tiganya masuk. Biar satu tahun back to back isinya residensi. Ingat dulu tanteku menggumam waktu dengar rencanaku daftar residensi. "Belajar terus kapan kerjanya?" Tapi dipikir-pikir, I chose to adapt. Adapt by learning. Dan aku suka.

Mimpinya sekarang, aku mau tinggal di luar Indonesia. Tentu di negara yang maju karena lotre kehidupanku dapatnya lahir di negara berkembang ini. Jadi daripada kunjungan sementara seminggu dua minggu seperti sebelumnya, aku ingin yang lebih lama. Cukup lama sampai aku memilih dengan mantap untuk menaruh jangkar. Artist visa, doaku sekarang.

-

Aku sekarang di kamar di Bandung. Sendiri. Waktu kecil tentu aku tidak terpikir akan tinggal sendirian cukup lama. Tiga tahun. Tidak ada sanak saudara terdekat yang jaraknya bisa ditempuh setidaknya setengah jam perjalanan. Jadi kalau aku sakit, aku mengeluh lewat telepon saja. Biar kata-kata dari yang terkasih setidaknya meringankan sedikit rasa lemas.

Perasaan sendirian mulai sering hinggap. Apalagi teman-teman mulai mengepakkan sayapnya. Meninggalkan dahan mulai yang bergoyang ini. Aku tunggu apa? Ada momentum datang tapi kupilih angan akan momentum selanjutnya. Modal percaya, kataku. Apakah perasaan akrab dengan kesendirian dan kesepian bisa menjadi modal bertahan di fase selanjutnya? Semoga!

Minggu, 16 November 2025

Akal-akalan Anak Kedua

Tadi malam adikku yang spesial itu menelepon. Jarang-jarang. Karena aku sendiri suka takut menerima telepon dari si bungsu itu karena seringnya berisi keluh kesah yang bikin aku kepikiran sampai seminggu. Memang spesial dia. Spesial bikin aku suka mendadak gelisah.

Dia cerita banyak hal. Untungnya bukan marah-marah. Life update. Walau hidup tidak selalu mulus, seringnya bikin terkocok-kocok, lebih menyenangkan ketika emosinya diparkir dulu kemudian cerita objektif yang terjadi saja kadang cukup walau tanpa bumbu. Setidaknya tidak bikin aku mual. Lagi-lagi, si kakak ini kepikiran, sayangku.

Bahasa kami tidak selalu sama. Ada masa-masa aku bingung menanggapi apa yang dimuntahkan dia dari kepalanya. Atau hatinya. Alur pikir kami sering tak sejalan. Aku dan kakakku lebih sering satu suara. Pisces dan Aquarius yang tumbuh di fase yang kurang lebih sama. Yang terakhir ini memang Aries, natur meledak dan lagi fase kehidupan kami mulai berubah di saat usianya krusial. Aku sering berpikir, apakah ini ego khas lelaki bungsu?

Kali ini bahasa kami seperti terkalibrasi. Ternyata, dia sedang belajar. Benar belajar karena dia sedang ikut kelas. Hal yang aku tunggu-tunggu dari lama. Karena aku suka belajar hal baru, tapi kenapa dia tidak? Aku senang dengan aroma rasa percaya dirinya yang bangkit. Dia juga cerita tentang masa sedihnya yang bikin aku mengikik. Mengikik karena been there done that, putus hihihi. Dia cerita, pulang tengah malam sehabis putus dan mengadu ke temannya, kemudian pulang disambut ayah dan ibu pukul tiga pagi. Tepukan punggung dari ibu ternyata makin membuat air matanya deras berjatuhan. Memori yang mirip terputar ulang. Aku pulang dengan kalut dari Bandung, kemudian langsung dipeluk ayah yang sudah diberikan kisi-kisi dari kakak. Sehabis puas menangis, lanjut ke McDonalds untuk asupan gula. Dan distraksi tentunya. Khas ayah sekali.

Dari semua kegilaan yang sering terjadi, ternyata tiga bocah ini sangat beruntung punya orang tua yang hadir di saat-saat kami jatuh di kesedihan. Yang mendengarkan saat kami dengan leluasa bercerita apa yang terjadi maupun saat meminta restu.

Telepon berlanjut terus. Cerita pula dia tentang rencana masa depannya. Tentang kami bertiga yang berbagi tugas memutar roda rumah. Aku senang dia punya harapan lagi. Dia bilang, dia tau akal-akalanku. Akal-akalan anak kedua yang mengalihkan perhatian berupa kehadiran menjadi pemasok kebutuhan yang selalu siap sedia dari jauh. Katanya dia juga mau. Hehe. Aku mengelak saat dia menyuruhku pulang. "Rumah penuh, ih". Jawabanku tidak menghasilkan perlawanan. Rumah memang rasanya mengecil. Terakhir kurasa rumah luas sekali saat 3 SD. Belum lagi, ada si bocah cilik rambut ikal yang sekarang menjadi pusat perhatian dengan tingkah lucunya.

-

Sekarang, aku tenang dan senang.